Sabtu, 14 Maret 2009

OBOR PUTIH

Bulan ketujuh akan berlalu sebentar lagi. aku tetap mengunjungi rumah Faris Effendi untuk memenemui Selma di taman yang indah itu, untuk menatap kecantikannya, memuaskan kekagumanku pada kecerdasannya, dan mendengarkan kebisuan duka citanya. aku merasakan sebuah tangan yang tak terlihat menuntunku kepadanya.

setiap kunjungan memberikan makna baru bagi kecantikannya dan memperluas pengertianku betapa dalam jiwanya yang suci dan sungguh baik, hingga dia pun seolah menjadi sebuah buku yg keseluruhan halamannya berisi pujian-pujian yg aku jadikan nyanyian. hanya saja, aku tak akan pernah selesai membacanya.

seorang perempuan yg di pengaruhi keindahan jiwa dan raga adalah sebuah kebenaran, yg tersembunyi maupun tampak, nyata dan dapat kita pahami hanya dengan cinta, dan bisa kita sentuh hanya dengan kebaikan. namun sewaktu kita berupaya menggambarkan perempuan yg demikian indah itu dengan kata-kata, dia aka menghilang seperti kabut.

kecantikan Selma Karamy terdapat dalam keseluruhan jasmani dan rohaninya. tetapi bagaimana aku dapat menggambarkannya kepada orang lain yg tidak pernah tahu, apalagi bertemu, dengannya?

dapatkah seseorang yg telah mati mengingat nyanyian seekor burung bulbul dan keharuman mewangi mawar dan keluh kesah sebuah anak sungai?

dapatkah seorang tawanan yg menanggung beban yg amat berat, menikmati semilir angin yg bertiup di awal pagi?

bukankah diam lebih menyakitkan daripada maut?

apakah harga diri telah mencegahku untuk menggambarkan Selma dengan ungkapan kata yg sederhana, padahal aku tak mampu melukiskan wujudnya secara nyata dengan warna-warna yg berkilauan?

seorang pengembara yg kelaparan di padang gurun, tak akan pernah menolak apabila harus makan roti kering, kalau Tuhan sedang tidak berkenan menghujaninya dengan makan lezat dan burung puyuh .

dalam pakaian sutera putihnya, Selma tampak begitu anggun, sepeti secerah sinar rembulan yg masukk melalui celah jendela.

dia berjalan denan lemah gemulai dan langkah berirama. suaranya pelan dan merdu, kata-kata yg keluar dari bibirnya terasa bagai tetes-tetes embun yg jatuh dari kelopak-kelopak bunga yg bergoyang bertiup angin.

tetapi sungguh luar biasa kecantikan wajah Selma! tidak ada kata2 yg mampu menjelaskannya. pada awalnya, wajahnya me,ukiskan penderitaan batin yg dalam, namun berubah menjadi kemuliaan surgawi.

kecantikan wajah Selma bukan terletak pada keunggulannya, namun itu bagaikan sebuah wahyu yg tak dapat diukur, diikat maupun ditiru dengan kuas oleh seorang pelukis atau dengan pahat seorang pegukir.

1 komentar: